Pada Dinding Hampa Siklus Semesta

Pada Dinding Hampa Siklus Semesta
Sesaat melintasi senja merah menghitam..........

Share

Bookmark and Share

Laman

Senin, 14 November 2011

TERUNTUK CHAHYA NAJMOUNA

Engkau belumlah cukup mengerti…..
Untuk mengetahui keadaan dirimu…..
Hanya tawa senyum ceriamu, ada menghias kadang terhempas …..
Menyentuh relung kalbu nuraniku…..
Tawa dari senyummu mengandung makna tak terhingga bagiku…..
Di sana tersimpan sejuta rahasia…..

Sering kali siratan tawa senyumanmu memaknakan makna kehidupanku…..
Membakar jiwaku dengan bunga-bunga gelora penuh warna…..
Memadamkan  sedih segala pedihku…..
Menggugah luas inspirasiku…..
Mengayuh luruh motivasiku…..
Merajut bulat bola tekadku…..
Merangkai berai merah semangatku…..
Dan juga menyenandungkan harmoni karya Illahi…..
Hingga meninggalkan jejak ikhlas nan suci murni di dalam hati…..

Subbhanallah…..
Tak ragu lagi ini adalah sebuah peringatan…..
Sebuah ujian bagi seorang hamba…..
Hamba nan lemah tak berdaya…..

Tak tahu sampai kapan…..
Kau dapatkan jawaban tanpa pertanyaan…..
Hanya usaha harapan kan terwujud…..
Kehendak relung tak berujung…..

Mungkin pagi, siang, sore atau malam nanti…..
Akan tercurah ilmu penuh penjelasan…..
Hingga kau tak perlu bertanya lagi…..
Mungkin juga tak pernah tertemukan…..
Melainkan hanya sederet (?????)
Tanpa titik sebagai ujung kemudian terpasung…..

Namun…..
Selama padam umurku belum menimpa…..
Selama itu pula, sertaku menuju padamu…..
Tuntunku tak luput kan bersamamu…..
Walaupun…..
Ku tahu di suatu saat yang tak pasti…..
Kau akan melangkah, beranjak menuju takdir…..
Lintasan yang telah pasti untukmu…..
Terpejam, kemudian terbelalak menjauh…..

Kuharap tabahmu teguh tangguh laik guruh…..
Takkan luntur walau lahar mengguyur…..
Tanpa takut kan kau arungi…..
Bias-bias aral yang pasti kan melingkupi…..
Akibat salahku yang terpaksa harus kau tanggung…..
Maafkanlah…..
Ikhlaskanlah…..
Duhai segenap “Peneduh Jiwa”…..
Wahai “Cerminku Kan Dunia”…..
“Bayangku pada Semesta”…..

Teruntuk ” Chahya Najmouna”…..

  
Muhamad Gunawan Priadi


Simpang Bercabang


Hari ini mulai melangkah lagi…..
Mengikuti jejak-jejak yang kembali nampak…..
Setelah cukup melemaskan kaki dan sejenak melepaskan kantuk….
Dari sebuah persimpangan “TIGA” arah yang membingungkan…..

Hati kecil mengisyaratkan kepada kaki kanan untuk segera beranjak….
Mengikuti arah gemercik air yang  samar terdengar di kejauhan…..
Jalur tengah menuju tenggara agaknya…..
Itulah arah yang ditunjukkan oleh sentuhan angin pagi….

Ufuk fajar memerah seketika…..
Tatkala bergeser tujuh langkah dari tempat semula….
Kuncup tunas perdu menyembul silih berganti…..
Meneteskan sisa embun yang telah menggumpal…..
Sejauh pandangan hanyalah hijau yang berseling kabut tipis…..

Jalan berbatu ini makin menanjak, kawan……!!
5’..10’..30’..45’..65’ kembali 0’ pada sebuah hamparan yang agak lapang….

Tertegun sejenak memandang pada ketinggian…..
Butiran air mengucur deras, memancar dari sisi tebing berlumut…..
Intuisi telah mengantarkan jiwa dan hati tuk tiba di sini….
Salah satu dari sekian banyak pori-pori bumi yang lama tersembunyi….. 

Akhirnya inilah saatnya rehat kembali….
Membasuh sekujur tubuh yang  penuh peluh…..
Membersihkan noda-noda yang masih melekat…..
Mengisi kembali segala perbekalan…..
Lalu segera melanjutkan lagi perjalanan…..
Yang ternyata masih teramat panjang…..

Kali ini terbentang di depan : Persimpangan “LIMA” arah yang selalu membisu…..
Tetap harus memilih “SATU” yang akan ditempuh…..


Muhamad Gunawan Priadi

Dari Sebongkah Batu…

Tertidur dengan penuh sadar…
Memekik seraya berbisik…
Melompat kemudian melesat…

Demikian sesaat khayal terbersit
Dari sebuah lamunan sebongkah batu
Geming senantiasa terbenam dalam kebisuan
Hampa memandang kepada gulita
Mencari setitik terang di dalam kelam
Hitamnya kesendirian…..

Dia yang terbungkus dan terbaring membujur 
Tersisa hanya kerangka berlumur tanah
Menjadi tempat cacing-cacing bercengkrama
Tempat rayap-rayap berpesta-pora

Mereka yang masih tegak berdiri
Terlena oleh indahnya warna-warni fatamorgana
Gemerlap segala kenikmatan semu dunia
Tak pernah sedikitpun mau tuk peduli

Aku yang kerap sendiri
Hingga kini masih terus mencari
Mengais pada setiap jengkal ruang yang tampak
Entah kapan akan mengerti….
Ataukah memang takkan pernah dapat dipahami…..

~Muhamad Gunawan Priadi ~